Menjadi Pendengar yang Baik

Tanggal : 08/13/2024, 20:08:48, dibaca 157 kali.

Dalam suatu kegiatan pembelajaran dengan topik curah pendapat, penulis mencoba menggali imajinasi peserta didik dengan bertanya atau mengeluarkan pendapatnya di depan kelas. Ketika ada seorang peserta didik berpendapat, sontak seluruh kelas jadi gaduh dikarenakan menurut mereka pertanyaan tersebut tidak berkualitas.

Penulis segera menyikapi situasi dengan meredam kegaduhan di kelas. Peserta didik perlu ditekankan pada sikap menghargai ide seseorang terlepas dari kelebihan maupun kekurangannya. Di samping itu peserta didik perlu mengedepankan santun pada saat komunikasi di kelas.

Ilustrasi di atas menandakan masih banyaknya peserta didik yang kurang mengenal sopan santun dalam pola pikir dan pola tindaknya. Di samping itu tidak sedikit di antara mereka yang tidak menghargai pendapat orang lain. Kata kuncinya sebagian besar di antara mereka kurang belajar untuk mendengarkan.

Saling berkelindan

Berbicara dan mendengarkan adalah dua hal yang saling berkelindan. Etika berbicara atau berpendapat dan mendengarkan harus diajarkan kepada peserta didik sejak dini. Menghargai pendapat orang lain dimulai dari mendengarkan atau memperhatikan serta menganalisis topik yang sedang dijelaskan.

Peserta didik tidak akan menjadi pendengar yang baik jika tidak dibiasakan. Mendengarkan adalah pekerjaan yang jauh lebih berat dibandingkan berbicara. Pendengar yang baik berusaha menangkap ide-ide yang dilontarkan oleh pembicara sehingga pada gilirannya dapat menanggapi pembicara tersebut.

Oleh karena itu, bukan berarti bahwa dengan menghargai pendapat orang lain itu peserta didik hanya menjadi pendengar pasif saja. Tetapi yang paling penting peserta didik diharapkan dapat menangkap ide-ide yang dilontarkan oleh pembicara dan kemudian dapat menanggapinya dengan berbagai pertanyaan jitu yang terarah.

Tak kalah urgensinya, guru perlu juga mempraktikkan sopan santun dengan cara mau mendengarkan peserta didik dalam menjawab pertanyaan dengan cara logika berpikir mereka. Guru perlu memahami dan tidak langsung menyalahkan jawaban peserta didik yang kadang menyimpang bahkan cenderung nyeleneh. Dengan demikian, guru dapat meminta peserta didik juga untuk mau mendengarkan bila ada orang lain yang bicara, serta menunggu pembicaraan sampai selesai jika ingin menyela atau memotong penjelasan guru.

Di dalam kelas, guru juga dapat mengajak peserta didik mempraktikkan cara memotong atau menyela pembicaraan orang lain dengan aturan umum yang berlaku. Misalnya, pada saat guru sedang menjelaskan, sementara ingin memotong pembicaraan, peserta didik dapat mengangkat tangan sebagai tanda meminta waktu untuk mengeluarkan pendapatnya.

Guru juga dapat mempraktikkan hal ini dalam diskusi kelompok. Pengalaman berdiskusi di dalam kelompok atau pembelajaran di kelas dapat menjadi bahan guru untuk melakukan penilaian sikap sosial peserta didik. Observasi guru dalam kegiatan ini akan memudahkan guru wali kelas dan bimbingan konseling untuk mengikuti perkembangan sikap peserta didik (Doni Koesoema A., Evy Anggraeny, 2020).

Dimulai dari guru
Belajar mendengarkan setiap topik yang dibicarakan seharunya juga dimulai dari guru. Konsep teori secanggih apapun tidak akan efektif bila tidak diimbangi langkah praktis. Guru perlu menerapkan dalam setiap pola pikir dan tindakannya. Banyak dijumpai, dalam setiap forum ilmiah, baik lokakarya, seminar, rapat, atau pengarahan masih banyak ditemui guru tidak fokus, ngobrol dengan teman kanan kirinya, bahkan ada yang asyik dengan ponselnya.

Sikap tersebut menandakan guru belum bisa menunjukkan dirinya sebagai sumber keteladanan. Bila hal itu terus dibiasakan, bisa jadi nanti di kelas saat mengajar juga abai mendengarkan peserta didiknya ketika ingin berpendapat. Guru yang mau mendengarkan pertanyan peserta didik, mendengarkan keluh kesahnya, kegundahan hati yang tak mungkin terungkapkan akan menjadi modal penting peserta didik dalam memahami mata pelajaran.

Tak berlebihan apabila guru banyak mendengarkan pendapat peserta didik atau orang lain dengan santun, akan lebih menguatkan kompetensi kepribadian yang harus dimiliki guru. Implementasi dalam mengaplikasikan pola pikir dan tindakannya harmoni dengan norma yang berlaku akan pantas diteladani peserta didiknya.

Pemikiran konstruktivistik di bidang pendidikan berpandangan bahwa kegiatan belajar merupakan aktivitas peserta didik yang aktif membangun sendiri pengetahuannya. Peserta didik mencari sendiri makna yang mereka pelajari sekaligus mengomparasikan materi dengan pengetahuan yang telah dimiliki. Kapasitas guru hanya sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran sehingga dapat terjadi melalui refleksi.
Ketidakmampuan guru dalam mendengarkan secara perlahan akan melumpuhkan antusiasme peserta didik dalam meraih impiannya. Hanya guru yang mau mendengarkan pendapat peserta didiknya akan dapat membangun semangat konstruktivistik dalam pembelajaran.

Untuk itu, belajar mendengarkan perlu dibiasakan baik oleh peserta didik maupun guru. Agar nilai penguatan pendidikan karakter dapat terbangun secara optimal dan menyentuh simpul-simpul yang paling substansial dalam pendidikan. (*)

Penulis:
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Guru Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang




 Silahkan Isi Komentar dari tulisan berita diatas
Nama
E-mail
Komentar

Kode Verifikasi
                

Komentar :


   Kembali ke Atas